Sudah sekian lamanya saya nggak ngepost apa-apa di blog ini. Maafin dindun ya Allah... hehe...
Bukan sok sibuk, tapi memang sibuk... Kerjaan dikantor parah banget, sampai sabtu-minggu pun aku kerjaaaa.. lembuuurr...
Ini sebenernya aku ngepost buat blog sebelah. Blog tentang pernikahan gitu.. Isinya orang-orang yang berbagi berbagai cerita mengenai pernikahan mereka, baik yang belum, sedang akan, baru saja, atau sudah menikah bertahun-tahun.. Iya, itu blog sekolahpernikahan.ning.com. Ngikutin blog ini bukan karena udah kebelet nikah sih, tapi seru aja baca kisah orang-orang. Ada yang galau, ada yang bahagia, ada yang biasa aja juga. Hehe... So, yuk mari disadaaaaap...
Jadi, ceritanya, saya ini digolongkan kedalam kategori galau.
Tapi galau santai. *apa lagi itu galau santai? hehe... Ya begini lah,
kegalauan saya kadang munculkadang tidak, dan ketika muncul ya gitu-gitu
aja.. Tidak memberikan tekanan yg berarti namun cukup mengisi relung
pikiran. Hehe..
Kegalauan yang paling sering muncul
dipikiran saya nggak jauh-jauh dari pertanyaan "Kenapa saya belum
menikah?". Memang sih, secara usia saya belum telat menikah, masih 24
tahun. Tapi sebenarnya saya sudah pingin menikah dari tahun lalu. Saat
itu saya sudah lulus kuliah dan baru mulai kerja, saya berfikir apa lagi
yang saya tunggu. Calon juga sudah ada, kami sudah saling kenal dengan
orang tua-orang tua kami, dan dianya juga sudah ingin menuju kesana.
Tetapi kami sama-sama sepakat bahwa menikah itu bukan hanya urusan
berdua. Memang yang akan menjalani intinya berdua saja, tapi menikah itu
menyangkut hajat hidup orang banyak, terutama orang tua, dan keluarga
serta kerabat. Jadi tidak bisa hanya diputuskan berdua saja.
Sementara
itu, dari sisi keluarga saya, khususnya ayah saya, belum menginginkan
saya cepat-cepat menikah. Beliau mensyaratkan minimal saya-nya sudah
bekerja dan menikmati hasil kerja saya sendiri minimal selama 2 tahun.
Karena menurut ayah saya yang namanya menikah itu nantinya akan banyak
menyita hal-hal yang tadinya bisa dinikmati sendiri. Banyak orang yang
mendengar cerita saya tentang alasan itu kemudian berkomentar bahwa
argumen tersebut salah, justru menikah adalah indah, karena segala
sesuatu jadi bisa dinikmati berdua. Sungguh, pemahaman saya juga seperti
itu. Menikah dan bisa menikmati apapun berdua, adalah suatu kenikmatan.
Tapi ternyata tidak untuk ayah saya. Pernah saya menyampaikan demikian,
dan terbantahlah oleh nasihat ayah saya yang intinya "sudahlah, kamu
nurut aja, nanti kamu juga pasti tau betapa yg ayah katakan ini benar.
nanti kamu rasakan sendiri bedanya."
Saya yang anak bungsu ini,
nggak berani menyanggah kata-kata ayah saya. Dua kakak saya telah
menikah, dua-duanya perempuan, itu artinya anak ayah saya 3 orang, sudah
2 yang 'diambil' orang. Bisa jadi ayah saya punya perasaan tidak ingin
cepat2 ditinggalkan anak bungsunya. Hal yang cukup wajar bukan?
Entahlah, saya nggak merasa harus memaksa ayah saya juga untuk dapat
mengijinkan saya cepat menikah. Walau sebenarnya dalam hati saya sangat
ingin. Some people in my position, may have their chance to fight their
desire. Tapi saya cukup mafhum dan merasa masih sanggup menahan
keinginan saya demi keinginan ayah saya.
Apapun alasan
sesungguhnya, untuk beliau atau untuk saya, saya nggak berniat lagi
untuk menyanggah. Yang ada difikiran saya, ketika ayah saya belum ridho,
artinya Allah pun belum memberikan kesempatan untuk saya. Buat apa saya
ngeyel. Mungkin memang waktunya belum tepat toh. Allah lah Yang Maha
Mengetahui segala yg terbaik untuk hambaNya, ya kan?
Tidak cukup
sampai disitu, sebenarnya yang membuat kegalauan saya timbul tenggelam
adalah kenyataan bahwa rencana pernikahan teman-teman saya ternyata
lebih lancar dan mulus ketimbang saya dan calon. Kebetulan saya dan
calon dulunya adalah teman satu kampus, jadi teman-teman saya kebanyakan
juga teman dia. Banyak diantara teman-teman kami yang menikah di tahun
ini, dan sudah merencanakan menikah di tahun depan. Undangan bertebaran
di media social maupun media-media komunikasi yang lain.
"Eh si itu mau menikah lho bulan 4 tahun depan."
"Oh iya..? Wah seneng ya.. moga2 lancar deh.."
"Iya... yaaaa satu lagi temen kita udah mau nikah... alhamdulillah.."
Setiap
kali membahas ini, selalu berakhir ngambang seperti itu. Mau diterusin
juga ujung-ujungnya malah bikin nggak enak. Pasti sampai juga ke
pertanyaan "kita kapan ya?"
Kami bukan belum pernah mengajukan
proposal ke orang tua saya, sudah kok. Bahkan dia memang telah dua kali
datang dan 'nembung' (istilah jawa dari melamar) ke ayah saya. Sekali
dia datang sendirian, yang kedua beserta ayahnya dan keluarga besarnya.
Tidak, ayah saya tidak menolak, ayah saya hanya mengatakan "boleh, tapi
ojo kesusu", artinya boleh tapi jangan buru-buru. Jadi acara lamaran
kami tidak seperti acara lamaran biasanya dimana pihak perempuan telah
memberi jawaban tentang kapan waktu pelaksanaan pernikahannya. Tidak
apa-apa, saya tidak ingin memaksa ayah saya untuk mengambil keputusan
soal kapan. Alhamdulillah calon saya juga tidak mengharuskan kami
buru-buru menjawab kapan-nya.
Sungguh santai bukan? Makanya saya
katakan kegalauan saya masuk kategori galau tapi santai. hehe... Kadang
galau, kadang tidak... kadang kepikiran, kadang...ah nggak pernah nggak
kepikiran sih.. hehe...
Balik lagi ke kondisi melihat teman-teman
yang (menurut saya) rencana pernikahannya lebih lancar. Banyak diantara
teman-teman yang menikah justru merencanakan pernikahan mereka dengan
singkat dan tidak ada penundaan yang berarti, kecuali masalah antrian
gedung, dan atau hanya menunggu turunnya SK, atau menunggu kelulusan
kuliah salah satu dari pasangan itu. Bahkan mungkin ada yang baru saja
memulai hubungan, baru saja kenal, tapi langsung merencanakan menikah
dan alhamdulillah lancar. Sungguh rasanya bahagia melihat teman-teman yg
mendapati rencana pernikahan mereka sangat mulus. Iya, bahagia, dan ada
sedikit rasa iri. Sedikit saja.
Sering terbersit difikiran saya,
apakah memang saya-nya yang belum pantas mendapatkan kesempatan
itu..sebelah mana dari diri saya yang harus saya benahi hingga saya
belum pantas menikah. Sering juga saya utarakan pertanyaan itu ke calon
saya, dia hanya menjawab bahwa kita memang masih harus selalu berusaha
memantaskan diri, sampai Allah lah yang menentukan kita sudah pantas
atau belum. Bukan kita yang bisa menentukan. Kalau sudah begitu, sudah
melayang lagi rasa galau saya. Hanya bisa tersenyum dan optimis dan
berfikiran positif pada semuanya. Begitu...saja berkali-kali... hehe..
Itulah kenapa saya bilang saya galau santai... galau saya timbul
tenggelam.. Kalaupun lagi timbul, ya gitu-gitu aja timbulnya... santai..
:-D
Sekian dari saya... mohon arahannya bagi yang mungkin berpengalaman lebih. Atau ada yang senasib dengan saya maybe.. hehe..
Terimakasih
atas waktunya, untuk yang bersedia membaca curhatan saya yang panjang
dan nggak santai, nggak sesantai galau saya.. hihihi..
:-)
Mohon pengertiannya bagi yang ingin ngetawain, jangan kenceng-kenceng ya... Hahah...
Subscribe to:
Posts (Atom)