I Always Act Like Myself

Itu adalah sekelumit tentang saya yang mungkin readers sudah baca di kolom 'About Me' maupun di complete profile saya. Ya saya memang seperti itu, dimanapun saya berada saya berusaha untuk menjadi diri saya sendiri, dan cenderung lebih memegang prinsip. Dari kecil saya dididik untuk membentengi diri dari pengaruh luar, dan itu terbawa sampai sekarang. Saya bisa dibilang termasuk orang yang tidak mudah dihasut dan dipengaruhi, tidak mudah terbawa arus. 

(ini bukan thread perkenalan)

Saya lahir di Jawa Timur, tepatnya di Kabupaten kecil bernama Lumajang. Kedua orang tua saya sebenarnya tidak ada yang berasal dariJatim, semuanya dari Jateng, Rembang dan Jepara. Namun karena tugas dinas Papa ditempatkan di sana. Tidak lama setelah saya lahir, tepatnya 7 hari setelah saya dilahirkan Almh. Mama ternyata Papa kembali harus pindah tugas ke Lamongan, masih di Jatim. Masa kecil saya habiskan disana. Sampai TK nol besar saya jalani di TK Bhayangkari Lamongan.

Jawa Timur dan Jawa Tengah, walaupun sama-sama 'Jawa' tetapi ternyata kulturnya sangat berbeda. Apalagi dari segi bahasa. Saya tidak akan men-judge masyarakat Jatim maupun Jateng dengan opini saya. Saya hanya akan membahas perbedaan persepsi untuk kasar dan tidaknya suatu ucapan.

Faktanya adalah, banyak ucapan-ucapan dan kata-kata yang terdengar lazim di Jatim yang ternyata diartikan kasar oleh orang Jateng. Sekedar masalah bahasa saja. Sama seperti kasus Sheila On 7 yang harus mengganti beberapa kata dalam lirik lagu "Pejantan Tangguh" ketika mereka melantunkan tembang tersebut di Negeri Jiran. Itu juga dikarenakan perbedaan makna kata. Dan itu sangat lazim.

Saya tidak hafal dan bahkan mungkin memang tidak banyak tau kata-kata apa yang  menyebabkan perbedaan persepsi antara orang Jatim dan orang Jateng. Karena selama hampir enam tahun masa kecil saya di Jatim saya tidak pernah diajari Bahasa Jawa Timur, maupun Bahasa Jawa. Saya dibentengi dengan hanya diajari Bahasa Indonesia oleh ortu saya. Mungkin ortu saya berharap suatu saat memang akan kembali ke Jateng, dan khawatir anak bungsunya terlanjur berbicara 'kasar' (menurut orang Jateng) ala orang Jatim.

Dan benar saja, tahun 1994 Papa harus pindah ke Solo. Tapi pada saat itu kakak saya yang nomor dua, Mbak Adek, baru kelas 2 SMA dan saya masih TK nol kecil, daripada repot ngurus pindah sekolah, mending nuggu setahun baru kami nyusul Papa di Solo. Jadi saya dan Mbak Adek masih ikut Mama di Lamongan. Baru tahun 1995 kami semua pindah ke Solo. Tanpa kakak pertama saya, Mbak Maya, yang memang saat itu sudah kuliah di  FH Ubaya (Universitas Surabaya).

Mbak Adek ikut UMPTN di Solo dan diterima di Fisipol UNS, saya masuk SDN Pucangan 2 di deket rumah, sedangkan Mama juga waktu itu sudah boleh mulai kerja (mutasi) ke BKKBN Kecamatan Kartasura.

Kelas satu SD, anak pindahan, baru di lingkungan. Saya sempat bingung. Teman-teman saya berbahasa Jawa. Mereka ngobrol dalam bahasa jawa, bermain dan bercerita dengan bahasa jawa. Ibu dan Bapak guru juga tidak jarang berbahasa Jawa walaupun tidak dominan. Dan walaupun tidak seratus persen Bahasa Jawa dan bukan Krama Inggil, tetap saja saya ngga ngerti. Saya belum pernah diajari bahasa Jawa.

Beberapa teman yang sama-sama dari perumahan sering mengajak bicara saya dengan bahasa Indonesia, dan mengajari beberapa kata bahasa Jawa. Untungnya teman-teman di perumahan juga lebih sering menggunakan Bahasa Indonesia sewaktu bermain bersama. Jadi saya tidak canggung.

But it was getting worse when i knew that there was a local subject named Javanese Language. Yup, ada mata pelajaran Bahasa Jawa, dan saya adalah satu-satunya yang belajar dari nol. Nol BESAR.
Tahun berganti tahun, kosakata Bahasa Jawa di otak saya makin nambah seiring berjalannya waktu. Nilai Pelajaran Bahasa Jawa saya juga ngga jelek-jelek amat. Karena tiap ada tugas Bahasa Jawa langsung saya serahkan ke Papa untuk mengerjakan. Licik? BUKAN. Saya belajarnya emang gitu. Jadi semua tugas Bahasa Jawa justru menjadi sarana bagi saya untuk belajar, dibantu banyak oleh Papa.

Tapi tetap saja sampai sekarang masih banyak juga kosakata Bahasa Jawa yang saya belum tau dan baru tau setelah ada teman yang mengucapkan. Apalagi Bahasa Jawa Krama Inggil, lebih susah lagi itu. Krama Inggil itu Bahasa Jawa yang sangat halus dan digunakan untuk berbicara pada orang yang lebih tua dari kita dan atau orang yang kita hormati. Makanya saya jarang berbicara bahasa Jawa, apalagi Krama Inggil sekarang. Kalau tiba-tiba ada orang tua mengajak berbicara Bahasa Jawa Krama Inggil pasti saya berusaha membawa conversation tersebut ke Bahasa Indonesia. Daripada salah ucap dan menimbulkan makna yang tidak tepat, mending saya pakai Bahasa Indonesia. 

Tapi saya juga tidak benar-benar meninggalkan Bahasa Jawa. Sampai sekarang saya masih terus belajar. Bagaimanapun itu budaya saya. Saya orang Jawa, dan saya harus bisa berbahasa Jawa, disegala situasi, siapapun lawan bicaranya. Namun karena sudah sangat tidak mungkin mengikuti pelajaran Bahasa Jawa, apalagi mata kuliah Bahasa Jawa di kampus saya jelas tidak ada, saya belajar dengan cara memperhatikan orang lain. Dan berhubung saya sedang tinggal di Jakarta, saya jadi minim 'pelajaran'. Satu-satunya kesempatan adalah ketika berkumpul dengan Sedulur PASPILO. PASPILO (Paseduluran Priyayi Solo), yaitu wadah berkumpulnya teman-teman di kampus yang berasal dari Solo. Lumayan lah, sama sedulur PASPILO saya sering bicara dengan Bahasa Jawa. Biar ngga lupa.

Jadi, menurut saya, memegang prinsip dan membentengi diri tentu sangat baik bagi kita. Tapi pun itu semua ada batasannya, kita harus tetap bisa menyesuaikan diri dimanapun kia berada. Be open minded mungkin bisa sangat membantu dalam hal ini. Namun yang terpenting dari semuanya, jangan pernah tinggalkan BUDAYA daerah kita. 

Thanks for reading, semoga bermanfaat. 

(radhdindun)

0 replies:

Post a Comment