Setiap kali kita berada pada lingkungan yang baru kita kenal, kita pasti perlu menyesuaikan diri. Tidak perlu merubah total kepribadian kita menjadi sama seperti orang-orang di lingkungan itu, kita hanya perlu menjadi diri kita sendiri yang sadar akan perilaku sosial budaya yang berlaku di lingkungan tersebut.
Menjadi diri sendiri memang sangat baik bagi kehidupan, bahkan hal itu disarankan, tetapi terlalu mengekang diri dengan benteng-benteng pertahanan prinsip terkadang justru membuat kita tersisih. Kalau kata orang jawa: "Sing bener ki durung mesti pener". Artinya, sesuatu yang benar belum tentu tepat. Jadilah seperti bunglon, kulitnya bisa berubah warna sesuai warna di tempat bunglon itu menempel. Walaupun warnanya berubah-ubah toh dimana-mana dia tetap bunglon, reptil unik ciptaan Tuhan.
Jika kita sudah mempelajari perilaku sosial budaya yang berlaku di lingkungan kita, kita tentu bisa membuat batasan-batasan seberapa banyak kita harus menyesuaikan diri. Terlalu menuruti lingkungan juga bisa membuat kita terlihat tak berprinsip.Masyarakat cenderung lebih susah memberi kepercayaan pada orang-orang yang ngikut sana ngikut sini. Jaim (jaga imej) itu perlu, tapi ada batasannya juga, sejauh mana kita menuruti kemauan orang lain.
Disini, saya akan sedikit bercerita tentang sociocultural yang berlaku di lingkungan tempat tinggal saya di Jawa. Tentang bagaimana orang berinteraksi satu sama lain. Hal ini seharusnya sudah saya ketahui sejak lama, karena saya tinggal ditengah-tengah budaya Jawa sejak saya berumur enam tahun. Namun, justru karena terlalu terbiasa dengan kulturnya, saya justru baru menyadari hal ini saat saya sudah kuliah di Jakarta dan sedang mengadakan penelitian TA di Sukoharjo. Tepatnya ketika saya harus berinteraksi dengan orang-orang yang menjunjung tinggi adat budaya Jawa untuk sehari-harinya, bahkan dibawa ke prosedural kantor.
Awalnya saya dihadapkan pada Bu Melati* (lihat pada postingan sebelumnya). Di lingkungan kampus saya, saya biasa berkomunikasi dengan teman dan bahkan dosen melalui alat komunikasi praktis yang bernama handphone jika memang tidak ada keperluan untuk bertatap muka. Contohnya sekedar bilang terimakasih, kan lewat telepon saja sudah cukup., atau bahkan sms saja. Tetapi ini tidak berlaku di daerah saya, keperluan bicara harus dituntaskan dengan bertatap muka.
Kepada Bu Melati saya berniat menanyakan perihal bisa atau tidaknya saya mengadakan penelitian di kantor beliau, untuk menanyakan ini secara langsung tentu saja saya tidak bisa, waktu itu posisi saya masih di Jakarta. Datanglah orang tua saya ke rumah Bu Melati untuk menanyakan hal tersebut. Setelah mendapat jawaban "Ya" tentu saya perlu bertanya lagi, apakah diperbolehkan mengadakan penelitian pendahuluan dengan surat pribadi sembari menunggu surat survei resmi dari kampus. Untuk pertanyaan yang membutuhkan jawaban "Ya" atau "Tidak" ini masa saya harus meminta tolong orang tua saya lagi untuk datang ke rumah Bu Melati? Ternyata memang harus begitu. Padahal saya sebenernya ngga ingin merepotkan orang tua saya. Saya sudah mencoba bicara pada irang tua saya, "gimana kalo nanyanya lewat telepon aja, pa?" Dan papa saya menjawab dengan tegas, "Ojo, ra sopan." Hmm.. saya langsung melipir, ngga lagi-lagi deh berniat nanya gitu. Hehe.
Begitulah budaya jawa, bila ada perlu ya harus bicara langsung. Kemajuan teknologi tidak banyak berarti di lingkungan yang masih kental budaya seperti ini. Bu Melati cuma satu contoh dari berbagai kisah yang saya alami selama mengadakan penelitian. Ada satu kisah lagi yang menurut saya perlu saya ceritakan, yaitu tentang Pak Kamboja* (lihat postingan sebelumnya).
Pak Kamboja, petugas yang menangani dan mengarahkan penelitian saya. Pada hari pertama penelitian saya cuma ditanya mau ngapain, lalu disuruh kembali lagi besoknya membawa kuesioner dan perlengkapan wawancara dan observasi. Katanya sih karena hari itu saya kesiangan, jadi pegawai-pegawainya udah nyebar di lapangan. Besoknya saya datang membawa semua yang sudah saya persiapkan. Saya datang sangat pagi sampai-sampai bisa menyaksikan upacara apel pagi yang diikuti semua pegawai, artinya saya bisa ketemu semua pegawai setelah apel karena belum ada yang berangkat ke lapangan.
Ternyata Pak Kamboja berkehendak lain, saya cuma disuruh menyerahkan kuesioner dan kembali lagi hari Sabtu. Padahal sebelum saya bertemu dengan Pak Kamboja saya sempat ngobrol dengan banyak pegawai disana, yang artinya sebenarnya pegawainya ada dan bisa diwawancara saat itu juga. Waktu saya memohon-mohon untuk diperbolehkan wawancara hari itu juga, Pak Kamboja tetap keukeuh bilang "Hari Sabtu aja mbak." Baiklah, saya kembali pulang dengan tangan kosong.
Di rumah saya menceritakan hal ini ke orang tua saya, da orang tua saya mengangguk-angguk tanda wajar dan sangat memaklumi bahkan sudah hafal dengan respon seperti itu. Kata papa sih Pak Kamboja ini "mengambil wibawa". Ya, ini memang budaya Jawa lagi yang mewarnai disini. Budaya dimana yang membutuhkan sesuatu dari orang lain harus menuruti apa kata orang itu. Apalagi kedudukannya memang lebih tinggi. Dadi cah cilik kudu rumongso butuh. Intinya Pak Kamboja ingin dihargai dan ingin saya menuruti apa kata dia saja. Harus ada perjuangannya gitu.
Kembali lagi ke pembahasan awal, kita memang harus bisa jadi bunglon. Menghadapi berbagai sifat orang memang butuh skill dewa agar tidak terantuk. :)
Sekian dari saya, semoga bermanfaat bagi readers. Kenali sociocultural behavior orang yang reader hadapi, biar ngga mentok sana mentok sini, oke? ;)
0 replies:
Post a Comment